Jumat, 07 Desember 2018

ZAKAT TUMBUHAN DAN BIJI-BIJIAN


A. Pengertian Zakat Pertanian dan Dalil Wajibnya

Zakat pertanian atau Zakat ziraah  adalah salah satu zakat mal  yandikenakan   pada   produk   pertanian,   setiap   panen   dan   mencapai   nishab. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran :

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ



..... Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah,   dan   tunaikanlah   haknya   di   hari   memetik   hasilnya   (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-An’am : 141)
Ayat ini menjelaskan bahwa zakat pertanian ditunaikan ketika panen, maka zakat pertanian tidak dikenal haul (hitungan satu tahun). Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Hai orang-orang yang beriman, infakkankanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk- buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketauhilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah : 267).[1]

Maksud Infak dalam ayat ini, menurut Ali bin Abi Thalib, Ubaidah As- Salmani dan Ibnu Sirin yaitu zakat yang diwajibkan. Sedangkan makna “apa yang Kami keluarkan dari bumi yakni tanaman, barang tambang dan harta temuan. (Tafsir Al-Qurthubi 3/320)


B. Syarat Zakat Tanaman dan Buah-buahan

Syarat-syarat  umum  zakat  antara  lain  islam,  berakal,  baligh,  merdeka. Sedangkan terdapat syarat-syarat khusus dari masing-masing mazhab.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa di samping syarat-syarat umum diatas, ada tambahan syarat yang lain, yaitu :
1.   Tanah yang ditanami merupakan tanah usyriyah.

2.   Adanya tanaman yang tumbuh dari tanah tersebut

3.   Yang tumbuh dari tanah tersebut adalah tanaman yang sengaja ditanami oleh penanamnya dan dikehendaki pembuahannya.[2]

Mazhab Maliki mengajukan dua syarat tambahan, yaitu :

1.   Yang tumbuh dari tanah tersebut adalah biji-bijian dan tsamarah (seperti kurma, anggur, dan zaitun). Zakat tidak diwajibkan atas fakihah (seperti buah apel, delima) begitu pula sayur-mayur baik tanaman di tanah kharajiyyah maupun bukan tanah kharajiyyah.
2.   Tanaman yang tumbuh dari tanah tersebut mencapai nishab yaitu 5 wasaq (653 kg). 1 wasaq = 60 sha’= 4 mudd.[3]

Mazhab Syafi’i menambahkan tiga syarat tambahan, yaitu :

1. Tanaman yang tumbuh di tanah tersebut adalah tanaman yang menjadi makanan yang mengenyangkan, bisa disimpan dan ditanam.
2.   Tanaman tersebut telah mencapai nishab yaitu 5 wasaq.

3.   Tanah tersebut merupakan tanah yang dimiliki oleh orang tertentu.[4]

Mazhab Hambali menambahkan tiga syarat, yaitu :

1.   Tanaman   tersebut   bisa   disimpan,   bertahan   lama,   bisa   ditakar,   bisa dikeringkan dan ditanami oleh manusia.
2.   Tanaman yang tumbuh dari tanah tersebut mencapai nishab yaitu 5 wasaq.

3.   Tanaman yang telah mencapai nishab tersebut dimiliki oleh seorang yang merdeka dan muslim pada waktu zakat diwajibkan.[5]

Orang  yang  memiliki  tanaman  atau  buah-buahan  yang  layak  makan yang diperoleh melalui pembelian, warisan, mahar, khulu’, penyewaan  atau upah,  tidak  wajib  mengeluarkan  zakatnya  sebab  dia  tidak  memiliki  harta tersebut ketika zakat diwajibkan.
Buah-buahan   yang   dipetik   dari   tanah   yang   mubah   tidak   wajib dikeluarkan zakatnya, baik tanaman tersebut tumbuh ditanah yang dimiliki oleh diri sendiri maupun benihnya diambil dari tanah mati sebab buah-buahan tersebut   tidak   bisa   dimiliki   kecuali   setelah   diambil   pada   waktu   zakat diwajibkan, bauh-buahan tersebut belum dimiliki.[6]


C. Nishab Zakat Pertanian

Jika biji-bijian (Zuru’ atau tanaman yang dapat dibuat roti, seperti kacang, beras, kedelai dan lain-lain) atau Tsimar (kurma dan anggur) atau buah-buahan telah sampai 5 wasaq atau seberat  652,8 (dibulatkan menjadi 653 kg), maka wajib dikeluarkan zakatnya 10% bila disiram dengan air hujan dan 5% jika memindahkan air dari tempat lain dengan kendaraan atau yang lainnya (pompa air) atau airnya membeli. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Ibnu
Umar, Rasulullah sha’llallahu alaihi wa sallam bersabda :


فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ ، وَمَا سُقِىَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ
  Tanaman yang diairi dengan air hujan atau dengan mata air atau dengan air

tada hujan, maka dikenai zakat 1/10 (10%). Sedangkan tanaman yang diairi

dengan mengeluarkan biaya, maka dikenai zakat 1/20 (5%).”
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, Sesungguhnya Rasulullah bersabda :

وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
Tidak ada kewajiban zakat di bawah 5 wasaq kurma.” (HR. Al-Bukhari)  
Berdasarkan hadits ini nishabnya senilai lima wasaq. Satu wasaq senilai enam puluh sha’ Nabi  berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama, dan satu sha’ Nabi senilai empat mud. Maka lima wasaq senilai tiga ratus sha’ Nabi.

  • Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa zakat hasil pertanian dan perkebunatidak wajib dikeluarkan kecuali telah mencapai nishab tertentu yaitu 5 wasaq (653 kg). Menurut Imam Syafii 1 wasaq = 60 sha = 130,5 kg. Sebagaimana Nabi menentukan kadar 1 shasesuai dengan ukuran sha Madinah pada zamannya.
Sedangkan menurut Imam Hanafi 1 wasaq = 195,69 kg. (1 sha= 4 mud = 8 rithl = 1028,57 dirham = 3,362 liter = 3261 gram). Ada juga yang menentukan 1 sha = 2,176 kg, berarti nishab zakat pertanian adalah 5 wasaq = 5 60 (sha’’)  2,176 kg = 300  2,176 = 652,8 kg lalu dibulatkan menjadi 653 kg.
Biji dianggap lima wasaq ketika sudah dibersihkan dari jeraminya. Sebab, biji tidak disimpan dengan jeraminya juga tidak dimakan dengan jeraminya. Adapun biji yang disimpan dengan kulitnya seperti padi dan ‘alas (sejenis gandum hinthah), maka nisabnya adalah sepuluh wasaq, dengan mempertimbangkan kulitnya yang mana menyimpannya dengan kulitnya akan lebih baik.[7]
Sehingga dapat disimpulkan, nishab untuk biji-bijian yang disimpan tanpa kulit adalah 5 wasaq (300 sha’) sedangkan nishab untuk untuk biji-bijian yang disimpan dengan kulit adalah 10 wasaq (600 sha’).

D. Buah-buahan dan Biji-bijian yang Disepakati Wajib Zakat

Abu Musa Al-Asyari mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda :

رمتلاو بيبزلاو ةطنحلاو ريعشلا : ةعبرلْا هذه نم لَإ ةقدصلا ذخأتلَ Janganlah kamu mengambil zakat, melainkan dari shinf (jenis) empat ini : sya’ir, hanthah, zabib dan tamar”
Dari penjelasan tersebut, kita mendapat pengertian bahwa buah-buahan yang disepakati wajib zakat oleh segenap ulama ialah gandum, sya’ir, tamar dan zabib. Dari pendapat Ibnu Hazm, kita mendapat keterangan bahwa yang disepakati benar-benar oleh segenap golongan ialah ialah gandum, syair dan
tamar.


Menurut Imam Hanafi, tanaman wajib dizakati apabila penanamannya bertujuan untuk mengembangkan barang tersebut supaya mendapat keuntungan dari hasil tanamannya, dan beliau tidak membatasi terhadap jenis tanaman.
Imam Maliki, Syafi’i dan Hambali sepakat bahwa jenis tanaman yang wajib dizakati adalah
1.      Gandum
2.      Jagung (putih maupun kuning)
3.      Padi (Semua Jenis)
4.   Anggur (Semua Jenis)

5.   Kurma (Semua Jenis)

6.   Kedelai (Semua Jenis)

Tabel Nishab sakat biji-bijian[8]
No
Biji-bijian
Nisab
Zakat
1
Gabah
1323,132 kg
10%  atau 5%
2
Beras
815,758 kg
10%  atau 5%
3
Gandum
558,654 kg
10%  atau 5%
4
Jagung Putih
714 kg
10%  atau 5%
5
Jagung Kuning
720 kg
10%  atau 5%
6
Kedelai
756,697 kg
10%  atau 5%


E.  Zakat Madu
            Madu adalah cairan yang keluar dari perut lebah. Tidak diragukan lagi bahwa mengandung berbagai macam kandungan gizi maupun obat bagi manusia. Pada masa lalu lebah-lebah itu membuat sarangnya di hutan-hutan, di pohon-pohon kayu dan sampai saat ini pun masih demikian keadaannya. Akan tetapi, pada saat ini masyarakat tidak hanya mengandalkan madu dari hutan-hutan tersebut, karena sudah ada yang sengaja mengadakan ternak yang menghasilkan madu.
Mengenai hal ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 68-69, yang artinya:
“Dari Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”, Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu), dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang yang memikirkannya.”
Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali zakat madu adalah sepersepuluh.12 Hanya saja Abu Hanifah berpendapat bahwa kewajiban mengeluarkan zakat madu dari tanah yang wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak sepersepuluh  baik  mengambilnya  banyak  atau  sedikit  dan  tanah-tanah  yang selain itu tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Mazhab Hanbali mengatakan bahwa nisab zakat madu adalah sepuluh afraq.[9]
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan bahwa menurut pendapat yang benar madu tidak wajib dizakati karena tidak adanya nash dari Rasulullah. Sedangkan menurut pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad bahwa madu itu wajib dizakati, prosentasenya sepuluh persen karena madu diambil tanpa tenaga dan tanpa biaya.
Mazhab Maliki dan Syafi’i mengatakan bahwa madu tidak perlu dikeluarkan  zakatnya  berdasarkan  dua  hal  berikut  ini.  Pertama,  apa  yang
diriwayatkan oleh  Turmudzi,  Nabi  SAW  tidak  pernah  menganjurkan  untuk
mengeluarkan zakat sedikit pun.” Dan apa yang dikatakan oleh ibn al-Mundzir, sesungguhnya tidak ada satu riwayat pun atau ijma’ yang mengharuskan pengeluaran zakat didalam madu.” Kedua, sesungguhnya madu adalah cairan yang keluar dari binatang, seperti halnya susu. Menurut ijma’, susu tidak diharuskan untuk dikeluarkan zakatnya.
Abu Ubayd menegaskan bahwa penghasilan madu hanya dianjurkan untuk mengeluarkan sedekahnya dan tidak boleh menahan diri untuk mengeluarkan sedekah tersebut.
Para ulama sepakat bahwa zakat terhadap madu diqiyas-kan dengan zakat terhadap tanaman dan buah-buahan dan juga terbentuk dari intisari tanaman dan bunga-bunga yang terus-menerus tertimbun, sehingga wajib dikeluarkan zakatnya.[10]
Untuk Aktivitas produksi madu wajib dizakati karena merupakan mustaghalat (barang yang dimiliki untuk mendapatkan penghasilan atau pendapatan dari suatu benda) yang berupa kepemilikan lebah dan atau lahannya dengan tujuan untuk mendapatkan penghasilan dan pemasukan berupa madu.[11] Aktivitas produksi madu meliputi:
a.       Pembelian lebah
b.      Pengelolaannya diatas lahan pertanian
c.       Sarang khusus agar lebah mudah mencari makannya
Perhitungan zakat aktivitas ini diatur berdasarkan hal-hal berikut:[12]
a.       Harga lebah dan perangkatnya seperti sarang, fasilitas alat, dan perabotan  serta mobil tidak wajib dizakati, karena ia merupakan harta yang dimiliki yang bukan untuk diperdagangkan (kecuali emas dan peras).
b.      Harga produksi madu selama satu haul (setiap panen jika zakat madu termasuk ke dalam komoditas pertanian dan tiap tahun jika zakat madu termasuk ke dalam zakat perdagangan).
c.       Harga prosuksi tersebut dikurangi pembiayaan dan pengeluaran riil, seperti biaya operasional (makanan tambahan lebah, obat-obatan, sewa tempat, pengemasan, dan sebagainya), pajak, retribusi, hutang, biaya hidup (jika produsen tidak memiliki sumber penghasilan lain).
d.      Nishab madu diqiyas-kan dengan nishab harta mustaghalat dan perdagangan yaitu senilai 85 gram emas 24 karat (jika madu termasuk ke dalam komoditas perdagangan) dan senilai 653 kg padi/gabah atau gandum (jika hanya beternak saja).
e.       Kadar zakat madu adalah 10% dari hasil bersih setelah dikurangi biaya opersional dan pengeluaran dalam memproses produksi madu. Sedangkan 2,5% tiap tahun dan penghasilan bersih jika madu termasuk ke dalam komoditas perdagangan.
F. Buah-Buahan Yang Tidak Wajib Dizakati


1. Dalil dari Alqur’an


ثيبخلا اومميت لَو ضرلْا نم مكل انجرخأ اممو متبسك ام تابيط نم اوقفنأ اونماء نيذلا اهيأاي


ديمح ينغ هللا نأ اوملعاو هيف اوضمغت نأ لَإ هيذخآب متسلو نوقفنت هنم


Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari hasil usahamu yang baik- baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah  kamu  memilih  yang  buruk-buruk  lalu  kamu  nafkahkan  dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah :267)

2. Dalil  dari  As-sunnah.  Diriwayatkan  oleh  Ibnu  Umar  bahwa,  Nabi  saw bersabda,

رشعلا فصن حضنلاب يقس امو رشعلا ايرثع ناك وأ نويعلاو ءامسلا تقس اميف


Tanaman yang tumbuh karena curah hujan atau aliran  mata air maka miqdar zakat  yang  harus  ditunaikan  adalah  sepersepuluh.  Sedang  jika  tanaman tumbuh dengan disirami maka miqdar yang harus ditunaikan adalah setengahnya. (Diriwayatkan oleh Bukhari). Dan diriwayatkan Jabir dari Nabi saw bahwa beliau bersabda,

رشعلا فصن ةيناسلاب يقس اميفو روشعلا ميغلاو راهنلْا تقس اميف


Tanaman yang tumbuh karena aliran sungai, curahan mendung maka kewajiban zakat yang harus ditunaikan adalah sepersepuluh. Sedang jika disirami (oleh pemiliknya) maka zakat setengahnya. (Diriwayatkan oleh Muslim)

3. Menurut Ijma’ kaum muslimin

Adapun menurut ijma’ bahwa umat islam telah sepakat secara global atas wajibnya membayar zakat terhadap segala sesuatu yang tumbuh dari bumi sepersepuluh atau setengahnya. Tapi mereka berselisih mengenai perinciaannya.

Perselisihan para mazahib mengenai zakat tanaman dan buah-buahan 
a. Mazhab Ibnu Umar dan Thoifah dari kalangan salaf.
Mereka berpendapat bahwa, zakat hanya diwajibkan pada empat macam bahan pokok. Ibnu Umar dan sebagian dari kalangan tabi’in dan orang-orang yang datang setelahnya berpendapat bahwa,

Tidak ada kewajiban zakat sedikitpun dari biji-bijian yang tumbuh, selain biji gandum dan jewawut. dan tidak ada kewajiban zakat sedikitpun dari buah-buahan yang tumbuh, selain kurma dan anggur kering.” Pendapat ini diambil dari riwayat Ahmad, Musa bin Tholhah, Ibnu Abi Laila, Ibnu Mubarok, Abi Ubaid dan hal ini disepakati oleh Ibrahim dan beliau menambahinya dengan jagung. Mereka berhujah dengan perkataan Rosulullah saw, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Darut Qutni dari
Amru bin Syuaib dari bapaknya bahwa kakek berkata,


رمتلاو ريعشلاو ةطنحلا يف ةسمخلا هذه يف ةاكزلا ملسو هيلع هللا ىلص هللا لوسر نس امنإ
ةرذلاو بيبزلاو
Sesungguhnya Rosulullah Saw, mewajibkan zakat pada lima jenis tanaman: biji gandum, jewawut, kurma kering, anggur yang sudah dikeringkan dan jagung.(Diriwatakan Oleh Ibnu Majah)

Mereka juga berhujah dengan hadist yang diriwayatkan At- Thabrani dan Hakim dari Abi Burdah Dari Abi Musa dan Mu’ad bahwa Rosulullah ketika mengutus keduanya ke negri yaman, untuk mengajarkan ilmu dien kepada mereka, maka rosulullah menyuruh keduanya supaya tidak mengambil shodaqoh kecuali terhadap empat jenis tanaman, biji gandum, jewawut, kurma kering dan anggur yang sudah dikeringkan. Mereka berpendapat bahwa selain empat macam tersebut tidak ada nash, ketetapan ijma’ atau pun kesamaan makna yang mewajibkannya.

b.   Mazhab Imam Malik dan Syafii


Zakat diwajibkan untuk setiap tanaman yang dijadikan makanan pokok dan bisa disimpan. Imam Malik dan Syafii berpendapat bahwa zakat diwajibkan untuk setiap tanaman yang dimakan, bisa disimpam dan bisa dikeringkan dari biji-bijian ataupun dari jenis buah-buahan, seperti gandum, jewawut, jagung, beras, dan jenis yang semisalnya.

Maksud dari (Muqtat) adalah sesuatu yang dijadikan oleh manusia sebagai makanannya, mereka hidup dengan mengkomsusinya baik dalam kondisi ikhtiyar dan bukan pada kondisi dhoruroh. Maka dari itu tidak ada zakat menurut mazhab Malik dan Syafii pada kelapa, laos, bandak, dan fustaq dan jenis yang semisalnya. Meskipun jenis-jenis diatas bisa disimpan, akan  tetapi  bukan  dijadikan  makanan  pokok  bagi  manusia  sekitarnya. dengan demikian zakat tidak berlaku pada buah apel, delima dan sejenisnya yang tidak bisa dikeringkan dan tidak bisa disimpan. Mereka berhujah dengan hadist Mu’ad bin Jabal, bahwa Rosulullah bersabada,

هللا لوسر هنع افع وفعف رضحلاو بصقلاو نامرلاو خيطبلاو ءاثقلا امأق



Adapun mentimun, batih, delima, bambu dan sayur-sayuran itu merupakan jenis tanaman yang dimaafkan (dibiarkan). (Diriwayatkan oleh Baihaqi didalam sunan Al-kubro). Kemudian beliau berkata, hadist-hadist dibawah ini semuanya mursal kecuali jika diriwayatkan dari berbagai jalur, sehingga satu sama lain saling menguatkan.

c.   Mazhab Imam Ahmad


Zakat  diwajibkan  untuk  setiap  tanaman   yang  bisa  dikeringkan, mampu bertahan lama dan bisa ditakar
Telah dinukil dari Imam Ahmad beberapa perkataan dan yang paling jelas yaitu sebagaimana telah disebutkan didalam kitab Al-mugni bahwa zakat diwajibkan ketika terkumpulnya sifat-sifat diantaranya, bisa ditakar, bertahan lama, dan bisa dikeringkan dari biji-bijian dan buah-buahan yang ditanam oleh manusia dilahannya. Baik  yang berbentuk makanan pokok seperti: gandum, jewawut, sayur-sayuran, acar, beras, jagung, tembakau. Atau  dari  biji-bijian  seperti:  kacang  tanah,  kacang  kedelai.  Atau  dari rempah-rempah atau bumbu-bumbuhan seperti: jintan putih atau bentuk jintan yang lain. Atau dari benih seperti, benih rami, mentimun. Atau dari biji sayur-sayuran seperti: biji lobak dan kol.
Zakat juga diwajibkan terhadap buah-buahan seperti, kurma, kismis, mismis yang dikeringkan dan juga buah badam, kacang tanah dan kemiri. Dalil yang dijadikan hujah adalah keumuman perkataan Rosulullah dalam sabdanya.

رشعلا فصن حضنلاب يقس امو رشعلا ايرثع ناك وأ نويعلاو ءامسلا تقس اميف


Tanaman  yang  tumbuh  karena  curah  hujan  atau  aliran   mata  air  maka miqdar zakat yang harus ditunaikan adalah sepersepuluh. Sedang jika tanaman  tumbuh  dengan  disirami  maka  miqdar  yang  harus  ditunaikan adalah   setengahnya.”   (Diriwayatkan   oleh   Bukhari).   Dan   perkataan Muadz,

بحلا نم بحلا ذخ



Ambilah (zakat) dari biji-bijian dari tumbuhan yang berbiji” (Diriwayatkan

oleh Abu Daud dan Ibnu Majah).
Dengan demikian zakat wajib pada semua jenis tanaman yang termasuk lafadz ini.

d.  Mazhab Abu Hanifah


Zakat berlaku pada setiap tanaman  yang dihasilkan bumi. Abu Hanifah  berpendapat  bahwa  diwajibkan  zakat  sepersepuluh  atau setengahnya pada setiap tanaman yang dihasilkan oleh bumi. Maksudnya petani  tersebut  memang  menanam  tanaman  tersebut  dan mengembangkannya dilahannya sebagaimana kebiasaan yang  telah berlaku ditengah-tengah masyarakat.
Pengecualian dari macam diatas terletak pada kayu, rumput, dan bambu karena jenis tersebut manusia tidak menanamnya dilahannya. Maka dari itu Daud Adzohiri dan sahabat-sahabatnya selain Ibnu Hazm berkata bahwa setiap yang tumbuh harus dizakati dan tidak ada pegecualian. Ini adalah pendapat An-Nakho’i dalam salah satu riwayatnya dan Umar bin Abdul Aziz, Mujahid, dan Hamad bin Sulaiman. Dengan demikian mazhab Abu  hanifah  dan  para  sahabatnya  mewajibkan  zakat  pada  tebu,  kunyit, kapas, katun, dan yang semisal dari keduanya, meskipun tidak termasuk sesuatu yang bisa dijadikan makanan pokok.
Wal hasil menurut pendapat Abu Hanifah bahwa diwajibkan mengeluarkan sepersepuluh dari buah semuanya. seperti, Apel, peer, buah plum, mismis, tiin, dan diwajibkan juga mengeluarkan sepersepuluh dari sayur-sayuran,  seperti  mentimun,  semangka,  melon,  terong,  lobak  dan
lobak. Mereka berhujah dengan keumuman firman Allah yang berbunyi,


هنم ثيبخلا اومميت لَو ضرلْا نم مكل انجرخأ اممو متبسك ام تابيط نم اوقفنأ اونماء نيذلا اهيأاي


ديمح ينغ هللا نأ اوملعاو هيف اوضمغت نأ لَإ هيذخآب متسلو نوقفنت


Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari hasil usahamu yang baik- baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya
lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah :267) dan firman Allah Taala,


نامرلاو نوتيزلاو هلكأ افلتخم عرزلاو لخنلاو تاشورعم ريغو تاشورعم تانج أشنأ يذلا وهوَ

نيفرسملا بحي لَ هنإ اوفرست لَو هداصح موي هقح اوتاءو رمثأ اذإ هرمث نم اولك هباشتم ريغو اهباشتم


Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya).  Makanlah  dari  buahnya  (yang  bermaca-macam  itu)  bila  dia berbuah, dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan  zakatnya);  dan  janganlah  kamu  berlebih-lebihan. Sesungguhnya  Allah  tidak  menyukai  orang-orang  yang  berlebih-lebihan.” (QS. 6:141)
Disini nash-nash diatas tidak ada perincian antara disimpan atau tidak bisa disimpan, yang bisa dimakan dan tidak bisa dimakan dan  yang bisa dijadikan   makanan   pokok   atau   tidak   bisa   dijadikan   makanan   pokok melainkan lafadz yang digunakan umum.

G.   Mencampurkan Buah-Buahan Yang Diperoleh Dalam Setahun

Ar-rafii mengatakan tidak ada perselisihan mengenai tidak digabungkan buah- buahan yang dihasilkan dalam tahun kedua , kepada yang dihasilkan dalam tahun pertama untuk mnyempurnakan nishab, baik keluar buah pada tahun kedua, sebelum memetik buah tahun pertama maupun sesudahnya. Kalau seseorang memiliki pohon kurma yang mengeluarkan buadua kali setahun, maka buah panen kedua tidak digabungkan pada hasil panen pertama.
Apabila berlainan waktu masaknya saja, lantaran berlainan macamnya, atau berlainan udara, maka jika keluar buah yang kedua sesudah nyata buah yang pertama lebih baik maka menurut zhahir nash Asy-Syafi’i digunakan yang kedua kepada yang pertama; karena dipandang buah itu diperoleh dalam satu  tahun.  Inilah  pendapat  yang  dishahihkan  oleh  Ar-Rafi’i  dalam  Al- Muharrar dan oleh An-Nawawi.
Gandum tidak boleh dicampurkan kepada sya’ir dan tamar juga tidak dapat dicampurkan pada keduanya. Demikian pendapat Sufyan, Muhammad ibn Hasan dan Syafii. Laits ibn Saad dan abu Yusuf mengatakan, digabungkan semua yang dikeluarkan bumi, setengahnya kepada setengah. Maka apabila dari semuanya terkumpul 5 wasaq, dikeluarkanlah zakatnya.

Barangsiapa mempunyai beberapa sawah di beberapa tempat, maka hendaklah

penghasilannya dikumpulkan dan dizakati jika sudah sampai nishab.”


H.   Menjual  Buah-Buahan  Sebelum  Dipetik  Dan  Zakat  Harta  Tumbuh-Tumbuhan

Malik mengatakan, barangsiapa menjual tumbuh-tumbuhan ketika buah-buahan tersebut telah baik (hampir masak) dan kering dalam kelopaknya, maka zakat tumbuh-tumbuhan tersebut wajib bagi pemiliknya dan bukan bagi pembelinya. Tidak boleh menjual buah-buahan sebelum kering dalam kelopaknya.
Asy-Syafi’i  mengatakan    tidak  boleh  menjual  digirik  dan dibersihkan.” Malik mengatakan, barang siapa menjual kebunnya sedang dalamnya ada tanaman yang belum nyata baiknya, maka zakatnya diwajibkan untuk pembelinya. Akan tetapi, jika telah nyata baik dan telah boleh menjualnya, maka zakatnya bagi penjual, kecuali jika disyaratkan terhadap si pembeli.
Apabila seorang mati meniggalkan tanaman yang dipusakakan oleh warisnya, maka jika masa itu tanaman telah kering, wajib diambil zakatnya jika sampai nishab. Tapi jika waktu ia mati, tanaman tersebut masih hijau, maka zakatnya terhadap si waris. Jika sampai bagian masing-masing yang menerima pusaka satu nishab. Jika tidak, maka tidak wajib zakat.
Apabila seorang menjual padinya, maka tidak dikenakan zakat terhadap harga padi sebelum sampai setahun dimiliki. Tapi jika padi itu disimpan untuk diperniagakan, maka wajib atasnya mengeluarkan zakat dari harganya apabila telah sampai setahun ia menyimpan, jika ia saudagar mutakhir dan jika ia saudagar mudir, hendaklah ia hargakan padinya sesudah satu tahun dari hari ia keluarkan zakatnya.

I.    Zakat Penghasilan di Tanah Wakaf


Menurut mazhab Hanafi, kepemilikan merupakan syarat diwajibkannya   zakat   tersebut.   Oleh   karena   itu,   tanah   yang   tidak   ada pemiliknya, yakni tanah wakaf, zakatnya adalah sepersepuluh.
... هداصح موي هقح اوتاو...


... dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya ... (QS. Al-Anam:141)


Karena sepersepuluh dikenakan atas sesuatu yang menghasilkan, dan bukan atas tanah itu sendiri, kepemilikan tanah atau tidaknya berada pada satu kondisi, dan tidak menjadi syarat atas kewajiban mengeluarkan zakat.

Menurut mazhab Maliki, pemberi wakaf atau pengelolanya menanggung kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas harta wakaf. Jika pemiliknya telah mengalihkan tanggungjawabnya kepada penerima wakaf sehingga penerima wakaf itu yang menanami tanahnya, maka penerima wakaflah  yang  berkewajiban  mengeluarkan  zakat  jika  masing-masing  jenis harta wakaf itu telah mencapai nishab. Jika tidak mencapai nishabnya, dia tidak wajib mengeluarkan zakatnya, selama dia tidak memiliki harta lain yang sama jenisnya yang dapat digabungkan dengannya sehingga dapat mencapai nishabnya.

Menurut mazhab Syafii, tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat utuk buah-buahan dan padi-padian yang berasal dari tanah wakaf untuk masjid, jembatan, atau panti-panti (al-ribathat), orang fakir dan miskin karena tanah- tanah itu tidakadapemiliknya yang pasti.
Menurut mazhab Hanbali, wajib zakat atas padi-padian dan tanaman yang diwakafkan untuk orang yang telah ditentukan, jika masing-masing jenis itu mencapai nishabnya. Tidak diwajibkan zakat atas tanah wakaf yang penerimanya tidak ditentukan.

J.    Zakat Penghasilan Di Tanah Sewa

Menurut Abu Hanifah, zakat tanah sewaan dibebankan kepada orang yang menyewa karena dialah yang menanggung biaya atas tanah itu, misalnya biaya untuk buruh dan pajak. Karena dia memperoleh uang sewanya, dia dianggap menanami sendiri tanahnya.
Mazhab Maliki dan Syafi’i tidak sependapat dengan Abu Hanifah, mereka mengatakan kewajiban zakat atas tanah sewaan dibebankan kepada penyewa karena tanah yang menghasilkan diwajibkan zakatnya sebesar sepersepuluh, dan yang menikmati hasil tanah itu adalah pihak penyewa. Oleh karena   itu,   pihak   penyewa   dibebani   untuk   membayar   zakat   sebesar sepersepuluh , dan dia dianggap sebagai peminjam (al-mustair).
Jumhur ulama mengatakan jika ada orang yang menyewa sebidang tanah, lalu menanaminya, atau dia meminjam tanah kemudian menanaminya, dengan tanaman  yang berbuah, maka hasil atas tanah itu dikenakan zakat. Kewajiban mengeluarkan zakat sepersepuluh dibebankan kepada penyewa atau orang   yang   meminjam   tanah   itu,   bukan   kepada   pemiliknya   karena sesungguhnya zakat sepersepuluh itu diwajibkan atas tanaman, yang sebelumnya digarap oleh pemiliknya, yang kini meminjamkan atau menyewakannya.
Tidak  adil  bila  kewajiban  zakat  dibebankan  kepada  pemilik  tanah, sebab zakat dikenakan atas tanamannya. Dengan demikian dia tidak berkewajiban mengeluarkan zakat karena dia tidak menanami tanahnya.


K.   Zakat Atas Tanah Berpajak (Al-Kharajiyyah)

Ada dua macam tanah menurut Abu Hanifah;

Tanah  Al Usyriyyah adalah tanah yang wajib dikeluarkan zakatnya sebesar sepersepuluh, yang didalamnya terkandung muatan makna ibadah.

a. Tanah Arab  yang membentang di kawasan  al-Udzayb  (sebuah  dusun  di Kufah) sampai ke perbatasan Yaman dan Aden. Karena Rasulullah saw. dan para khulafa Rasyidin setelahnya tidak pernah mengambil pajak (al-kharaj) atas tanah-tanah tersebut. Ini menunjukkan bahwa tanah-tanah itu adalah tanah ‘usyriyyah (wajib dizakati sepersepuluh).
b. Tanah  yang  penduduknya  masuk  islam  dengan  penuh  kesadaran.  Oleh karena itu, tanah tersebut dianggap tanah islam.
c. Tanah yang dibuka secara paksa dengan menundukkan penduduknya dan dibagi-bagi sebagia tanah rampasan perang bagi kaum muslimin.
d. Tanah yang berada dikawasan negeri kaum muslimin yang dipakai untuk kebun dan disirami dengan air yang mengharuskan zakat sepersepuluh. Jika tanah itu disiram dengan air yang mengharuskan membayar pajak, tanah itu termasuk tanah pajak.
Tanah Al-Kharajiyyah adalah tanah yang diwajibkan pembayaran pajaknya karena pada mulanya tanah-tanah itu milik orang kafir yang dibuka secara paksa oleh pasukan kaum muslim, kemudian Imam memberikan tanah itu kepada pemiliknya kembali untuk dimanfaatkan setelah pemilik tanah itu dikenal kewajiban membayar upeti karena mereka tidak mau masuk islam. Tanah  tersebut  dikenai  pajak,  baik  pemiliknya  masul  islam  maupun  tidak setelah itu, misalnya tanah di pinggiran wilayah Irak, Mesir, dan Syiria.

Adapun menurut jumhur ulama, tanah berpajak itu ada tida macam;


1.   Tanah yang dibuka oleh pasukan kaum muslim dan tidak dibagikan kepada mereka.



2. Tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya karena takut kepada pasukan muslim.
3.   Tanah yang diberikan oleh pemiliknya kepada kaum muslim

Menurut jumhur ulama tanah yang diharuskan membayar zakat sepersepuluh, tidak harus membayar pajak karena ia merupakan hak milik pemiliknya. Tanah seperti ini yang berada di wilayah yang ditundukkan, ada lima macam, yaitu;

1. Tanah yang penduduknya masuk islam, seperti kota Madinah al- Munawwarah, Juwatsi yang termasuk wilayah Bahrain.
2.   Tanah mati yang dibuka oleh kaum Muslim dan dipelihara oleh mereka, seperti Bashrah yang dibangun pada zaman kekhalifahan Umar r.a., pada tahun delapan belas, setelah diwakafkannya tanah pinggiran di Irak.
3.   Tanah yang telah dibuatkan kesepakatan oleh pemiliknya bahwa tanah itu milik mereka dan mereka menyanggupi untuk membayar pajaknya, seperti tanah di Yaman.
4.   Tanah yang dibagikan oleh para Khulafa Rasyidin di pinggiran wilayah Irak untuk dimiliki orang-orang tertentu.
5.   Tanah  yang  dibuka  secara  paksa  oleh  pasukan  muslim  dan  dijadikan rampasan perang (ghanimah), seperti separuh wilayah Khayar (empat blok dari Madinah yang memanjang sampai ke arah Syam).
Ada dua macam pajak  yaitu  pajak wajib (kharaj al-wazhifah) dan pajak dari bagi hasil (kharaj muqasamah). Pajak wajib (kharaj al-wazhifah) adalah pajak yang wajib dikeluarkan atas tanah, baik tanah itu dimanfaatkan maupun tidak dimanfaatkan pemiliknya. Adapun pajak bagi hasil (kharaj al- muqasamah)  adalah  pajak  yang  dipotong  (diambilkan)  dari  hasil  panen, misalnya dengan mengambil separuh, sepertiga, atau seperempat bagian dari seluruh hasil panen.
Para  ulama  sepakat  bahwa  tanah  berpajak  yang  dimiliki  oleh  orang bukan muslim harus dibayar pajaknya dan tidak usah diambil zakat sepersepuluhnya karena sepersepuluh adalah kewajiban yang dibebankan atas tanah yang dimiliki orang muslim.

Menurut mazhab Hanafi, tanah berpajak hanya diwajibkan membayar pajaknya dan tidak diwajibkan membayar zakat penghasilan sebesar sepersepuluh. Pajak dan zakat sepersepuluh tidak dapat terjadi dalam satu tanah.
Menurut tiga Imam fikih yang lain, tanah berpajak harus membayar zakat sepersepuluh disamping keharusan membayar pajaknya.

L. Zakat Tumbuh-tumbuhan Yang Perkongsikan

Menurut Asy-Syafi’i, Apabila terkumpul dari beberapa dari beberapa orang kongsi lima wasaq, maka mereka wajib mengeluarkan zakat.
As-Zarqani mengatakan, menurut Asy-Syafii, orang yang berkongsi terhadap tanaman, emas, dan perak dan binatang mengeluarkan zakat sebagai zakat orang-perorangan. Sedangkan Malik,  Ahmad dan Abu Tsaur mengatakan, bahwa wajib zakat mereka jika masing-masingnya mempunyai nishab.[13]

M.  Contoh Penghitungan Zakat Tanaman dan Tumbuhan

1.      Zakat Perorangan


Bapak Alan adalah seorang petani, ia memiliki sawah yang luasnya

2 Ha dan ia tanami padi. Selama pemeliharaan ia mengeluarkan biaya sebanyak Rp 5.000.000,-. Ketika panen hasilnya sebanyak 10 ton beras. Berapakah zakat hasil tani yang harus dikeluarkannya?[14]

Jawab:

Ketentuan zakat hasil tani: Nishab 653 kg beras Tarifnya 5%
Waktunya: Ketika menghasilkan (Panen)


Jadi zakatnya:


Hasil panen 10 ton = 10.000 kg (melebihi nisab) 10.000 x 5% = 500 kg


Jika dirupiahkan:


Jika harga jual beras adalah Rp10.000,-  maka ,


10.000 kg x Rp10.000 = Rp100.000.000


100.000.000 x 5% = Rp5.000.000,-


Maka zakatnya adalah 500 kg beras atau Rp5.000.000


2.      Zakat Milik Bersama

Pak Ahmad adalah seorang pemilik tanah. Sedangkan Pak Hamid penyewa tanah untuk ditanami dengan akad bagi hasil pertanian dan benih berasal dari Pak Hamid. Ketika panen, tanah pak Ahmad menghasilkan 3 ton beras. Sedangkan system pengairannya berasal dari pembelian air disel. Sedangkan bagi hasilnya adalah: 40: 60. 40% untuk Pak Ahmad dan 60% untuk Pak Hamid. Jadi berapakah zakat yang dikeluarkan oleh Pak Ahmad dan Ham id?[15]

Jawab:


Ketentuan zakat hasil tani: Nishab 653 kg beras Tarifnya 5%
Waktunya: Ketika menghasilkan (Panen) Jadi zakatnya:
Hasil panen 3 ton = 3.000 kg


Bagi hasilnya 40% untuk Pak Ahmad dan 60% untuk Pak Hamid.
Pak Ahmad 3.000kg x 40% = 1.200kg (melebihi nisab) 1200kg x 5% = 60 kg Jika dirupiahkan:
Jika harga jual beras adalah Rp10.000,- maka,


1.200 kg x Rp10.000 = Rp12.000.000


12.000.000 x 5% = Rp600.000,-


Maka zakat Pak Ahmad adalah 60 kg beras atau Rp600.000


Pak Hamid 3.000kg x 60% = 1.800kg (melebihi nisab) 1800kg x 5% = 90 kg Jika dirupiahkan:
Jika harga jual beras adalah Rp10.000,- maka


1.800 kg x Rp10.000 = Rp18.000.000


18.000.000 x 5% = Rp900.000,-


Maka zakat Pak Hamid adalah 90 kg beras atau Rp900.000.

DAFTAR PUSTAKA



Arifin. 2011. Dalil-Dalil Keutamaan Zakat, Infak dan Sedekah Dilengkapi Dengan

Tinjauan Dalam Fiqh 4 Madzab.Tangerang Selatan: Elex Media Komputindo.


Al-Zuhayly,  Wahbah.  2008.  Zakat:  Kajian  Berbagai  Mazhab.  Bandung:  Remaja

Rosdaka.


Ash-Shiddieqy, Hasby. 2010. Pedoman Zakat. Semarang: PT. Pusaka Rizky Putra. Mannan, Abdul. 2007. Fiqih Lintas Madzhab. Kediri: PP. Al Falah.
https://zakatpedia.com/services/zakat-pertanian  diakses tanggal 29 Oktober 2018.


http://repository.uin-suska.ac.id/2754/2/BAB%20III.pdf, diakses tanggal 10 Desember 2018.
http://etheses.uin-malang.ac.id/1475/7/08210025_Bab_2.pdf diakses pada 7 Desember 2018 pukul 19:46 WIB.




[1] Arifin, Dalil-Dalil dan Keutamaan Zakat, Infak dan Sedekah Dilengkapi Dengan Tinjauan Dalam Fiqh 4 Madzab, (Tangerang Selatan : Elex Media Komputindo, 2011), hlm. 113.
[2] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat : Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2008), hlm. 183.
[3] Ibid, hlm.184.
[4] Ibid, hlm. 185.
[5] Ibid, hlm. 185.
[6] Ibid, hlm. 186.
[7] http://repository.uin-suska.ac.id/2754/2/BAB%20III.pdf, diakses tanggal 10 Desember 2018 pukul 07.59 wib
[8] Abdul Manna, Fiqih Lintas Madzhab, (Kediri: PP. Al Falah , 2007), hlm. 34
[9] Wahbah al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 190.
[10] http://etheses.uin-malang.ac.id/1475/7/08210025_Bab_2.pdf diakses pada 7 desember 2018 pukul 19:46
[11] Ibid.,
[12] Ibid.,
[13] Hasby Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang:PT. Pusaka Rizky Putra,2010), hlm. 111.
[14] https://zakatpedia.com/services/zakat-pertanian , diakses tanggal 29 Oktober 2018.
[15] http://zakat.or.id/zakat-hasil-lahan-pertanian/ , diakses tanggal 29 Oktober 2018