A. Pengertian Musyarakah
Istilah musyarakah tidak ada dalam Fikih Islam, tetapi baru diperkenalkan belum lama ini oleh mereka yang menulis tentang skim-skim pembiayaan Syariah yang biasanya terbatas pada jenis syirkah tertentu, yaitu syirkah al-amwal yang dibolehkan oleh semua ulama.
Menurut Dewan Syariah Nasional, musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih atas suatu usaha tertentu, dimana masing masing pihak saling memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Musyarakah merupakan akad bagi hasil ketika dua atau lebih pengusaha pemilik dana/modal bekerja sama sebagai mitra usaha, membiayai investasi usaha baru atau yang sudah berjalan. Mitra usaha pemilik modal berhak ikut serta dalam manajemen perusahaan, tetapi itu tidak merupakan keharusan. Para pihak dapat membagai pekerjaan mengelola usaha sesuai kesepakatan dan mereka juga dapat meminta gaji/upah untuk tenaga dan keahlian yang mereka curahkan untuk usaha tersebut.
Musyarakah di dalam terminologi Fikih Islam dibagi dalam dua jenis.
1. Syirkah Al-milk atau syirkah kepemilikan, yaitu kepemilikan bersama dua pihak atau lebih dari suatu properti;
2. Syirkah Al-‘aqd atau syirkah akad, yaitu kemitraan yang terjadi karena adanya kontrak bersama, atau usaha komersial bersama. Syirkah al-‘aqd sendiri ada empat (Madzhab Hambali memasukkan syirkah mudharabah menjadi syirkah al-‘aqd yang ke lima), satu yang disepakati dan tiga yang diperselisihkan,3 yaitu:
a. Syirkah Al-amwal atau syirkah al-‘Inan, yaitu usaha komersial bersama ketika semua mitra usaha ikut andil menyertakan modal dan kerja, yang tidak harus sama porsinya, ke dalam perusahaan. Para ulama sepakat membolehkan bentuk syirkah ini.
b. Syirkah Al-mufawaá¸hah yaitu usaha komersial dua pihak pemodal atau lebih dimana posisi dan komposisi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya adalah sama, baik dalam hal modal, pekerjaan, maupun dalam hal keuntungan dan resiko kerugian.4
c. Syirkah Al-a’mal atau Syirkah Abdan yaitu, usaha komersial bersama ketika semua mitra usah ambil bagian dalam memberikan jasa kepada pelanggan.5 Jadi syirkah dalam bentuk ini adalah kesepakatan untuk sama-sama melakukan suatu jenis pekerjaan.
d. Syirkah Al-wujuh adalah usaha komersial bersama ketika mitra tidak memiliki investasi sama sekali. Mereka membeli komoditas dengan pembayaran tangguh dan membayarnya tunai.
B. Landasan Hukum Musyarakah
1. Landasan Hukum Al-Qur’an
"… Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini …" QS. Shad [38]: 246
"Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu .." QS. al-Ma'idah [5]: 1
2. Landasan Hukum Hadits
Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata: "Allah swt. berfirman: 'Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka." (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah)
3. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah. Beberapa Ketentuan:
a. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
- Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
- Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
- Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
b. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:
- Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
- Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
- Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
- Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset, dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
- Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
c. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
1) Modal
- Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
- Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
- Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.
2) Kerja
- Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
- Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
3) Keuntungan
- Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
- Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
- Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
- Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
d. Biaya Operasional dan Persengketaan
- Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
- Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
C. Rukun dan Syarat Musyarakah
Rukun dari akad musyarakah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu:
- Pelaku akad, yaitu para mitra usaha;
- Objek akad, yaitu modal (maal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh); dan
- Shighah, yaitu Ijab dan Qabul.
Suatu perjanjian sah jika tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, saling ridha, tanpa paksaan, serta butiran perjanjian tertuang dengan jelas dan gamblang. Jika tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah.
Beberapa syarat pokok musyarakah menurut Usmani (1998) antara lain:
1. Syarat Akad
Karena musyarakah merupakan hubungan yang dibentuk oleh para mitra melalui kontrak/akad yang disepakati bersama, maka otomatis empat syarat akad yaitu 1) syarat berlakunya akad (In’iqod); 2) syarat sahnya akad (Shihah); 3) syarat terealisasikannya akad (Nafadz); 4) syarat lazim juga harus dipenuhi. Misalnya, para mitra usaha harus memenuhi syarat pelaku akad (ahliyah dan wilayah), akad akan dilaksanakan atas persetujuan para pihak tanapa adanya tekanan, penipuan, atau penggambaran yang keliru, dan sebagainya.
2. Pembagian Proporsi Keuntungan
Dalam pembagian proporsi keuntungan harus dipenuhi hal-hal berikut.
- Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada para mitra usaha harus disepakati di awal kontrak/akad. Jika proporsi belum ditetapkan, akad tidak sah menurut Syariah.
- Rasio/nisbah keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus ditetapkan sesuai dengan keuntungan nyata yang diperoleh oleh usaha, dan tidak ditetapkan berdasarkan modal yang disertakan. Tidak diperbolehkan untuk menetapkan lumsum untuk mitra tertentu, atau tingkat keuntungan tertentu yang dikaitkan dengan modal investasinya.Contoh: jika A dan B bermitra dan sepakat bahwa A akan mendapat bagian keuntungn setiap bulan sebesar satu juta rupiah, dan sisanya merupakan bagian keuntungan untuk B, maka kemitraan ini tidak sah. Demikian pula, jika disepakati bahwa A akan memperoleh 15% dari nilai investasinya, kemitran ini tidak sah. Dasar yang benar untuk mendistribusikan keuntungan adalah persentase yang disepakati dari keuntungan yang benar-benar diperoleh dalam usaha.
3. Penentuan Proporsi Keuntungan
Proporsi keuntungan dibagi di antara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad sesuai dengan proporsi modal yang disertakan (pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i), atau dapat pula berbeda dari proporsi modal yang mereka sertakan (pendapat Imam Ahmad). Sementara itu, Abu Hanifah berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal pada kondisi normal. Namun demikian, mitra yang memutuskan menjadi sleeping partner, proporsi keuntungannya tidak boleh melebihi proporsi modalnya.
4. Pembagian Kerugian
Apabila terjadi kerugian akan ditanggung bersama sesuai denfgan proporsi penyertaan modal masing-masing (semua ulama sepakat dalam hal ini). Misalnya jika seorang mitra menyertakan 40% modal, maka ia harus menanggung 40% kerugian, tidak lebih tidak kurang. Dapat diambil kesimpulan bahwa dalam musyarakah keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan para pihak, sedangkan kerugian ditanggung bersama sesuai dengan proporsi penyertaan modal masing-masing pihak.
5. Sifat Modal
Sebagian besar ahli hukum islam berpendapat bahwa modal ynag diinvestasikan oleh setiap mitra harus dalam bentuk modal likuid. Hal ini berarti bahwa dalam akad musyarakah hanya dapat dengan uang dan tidak dapat dengan komoditas. Dengan kata lain, bagian modal dari perusahaan patungan harus dalam bentuk moneter (uang). Tidak ada bagian modal yang berbentuk natura.
6. Manajemen Musyarakah
Prinsip normal dari musyarakah bahwa setiap mitra punya hak untuk ikut serta dalam manajemen dan bekerja untuk usaha patungan ini. Namun demikian, para mitra dapat pula sepakat bahwa manajemen perusahaan akan dilakukan oleh salah satu dari mereka, dan mitra lain tidak akan menjadi bagian manajemen dari musyarakah.
Jika semua mitra sepakat untuk bekerja di perusahaan, masing-masing mitra harus diperlakukan sebagai agen dari mitra yang lain dalam semua urusan usaha, dan semua pekerjaan yang dilakukan oleh setiap mitra, harus disetujui semua mitra.
7. Penghentian Musyarakah
Musyarakah akan berakhir jika salah satu dari peristiwa dibawah ini terjadi.
a) Setiap mitra memiliki hak untuk mengakhiri musyarakah kapan saja setelah menyampaikan pemberitahuan kepada mitra lain mengenai hal ini.
Dalam hal ini, jika aset musyarakah berbentuk tunai, semuanya dapat dibagikan pro rata di antara para mitra. Akan tetapi, jika aset tidak dilikuidasi maka para mitra dapat membuat kesepakatan untuk melikuidasi aset atau membagi aset apa adanya di antara mitra. Jika terdapat ketidaksepakatan dalam hal ini yaitu jika seorang mitra menginginkan likuidasi sementara mitra lain ingin dibagi apa adanya, maka yang terakhir yang didahulukan setelah berakhirnya musyarakah semua aset dalam kepemilikan bersama para mitra dan seorang co-owner mempunyai hak untuk melakukan partisi atau pembagian. Namun, jika aset tersebut tidak dapat dipisah atau dipartisi maka aset tersebut harus dijual terlebih dahulu dan hasil penjualannya dibagikan.
b) Jika salah seorang mitra meninggal pada saat musyarakah masih berjalan, kontrak dengan almarhum tetap berakhir/dihentikan. Ahli waris memiliki pilihan untuk menarik bagian modalnya atau meneruskan kontrak musyarakah.
c) Jika salah seorang mitra menjadi hilang ingatan atau menjadi tidak mampu melakukan transaksi komersial, maka kontrak musyarakah berakhir.
8. Penghentian Musyarakah tanpa Menutup Usaha
Jika salah seorang mitra ingin mengakhiri musyarakah sedangkan mitra lain ingin tetap meneruskan usaha, maka hal ini dapat dilakukan dengan kesepakatan bersama. Mitra yang ingin tetap menjalankan usaha dapat membeli saham/bagian dari mitra yang ingin berhenti karena berhentinya seorang mitra dari musyarakah tidak berarti bahwa mitra lain juga berhenti. Namun demikian, dalam hal ini harga saham mitra yang akan keluar harus ditetapkan dengan kesepakatan bersama dan jika terjadi sengketa tentang penilaian saham sementara para mitra tidak mencapai kesepakatan, mitra yang akan keluar dapat memaksa mitra lain untuk melikuidasi atau mendistribusi aset.
D. Manfaat Musyarakah
Terdapat banyak manfaat dari pembiayaan secara musyarakah, antara lain:
- Lembaga keuangan akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
- Lembaga keuangan tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha lembaga keuangan, sehingga lembaga keuangan tidak akan mengalami negative spread. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
- Lembaga keuangan akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-banar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
- Prinsip bagi hasil dalam musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana lembaga keuangan akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Resiko yang sering terjadi dalam penerapan pembiayaan musyarakah antara lain:
- Side streaming; nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebutkan dalam kontrak
- Lalai dan kesalahan yang disengaja
- Penyembunyian keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.
E. Aplikasi Musyarakah
a) Lembaga Keuangan Syariah
- Ada beberapa aplikasi pembiayaan musyarakah bagi lembaga keuangan syariah yaitu antara lain: Musyarakah permanen (continous musyarakah), dimana pihak koperasi merupakan partner usaha tetap dalam suatu proyek/usaha. Jumlah dan porsi modal yang disertakan oleh masing-masing mitra tetap selama periode kontrak. Model ini jarang dipraktikkan, namun investasi modal permanen ini merupakan alternatif menarik bagi investasi surat-surat berharga atau saham, yang dapat dijadikan salah satu portofolio investasi lembaga keuangan syariah.
- Musyarakah digunakan untuk skim pembiayaan modal kerja (working capital). Lembaga keuangan syariah merupakan partner pada tahap awal dari sebuah usaha atau proses produksi. Dalam skim ini, pihak lembaga keuangan syariah akan menyediakan dana untuk membeli aset atau alat-alat produksi, begitu juga dengan partner musyarakah lainnya. Setelah usaha berjalan dan dapat mendatangkan profit, porsi kepemilikan koperasi atas aset dan alat produksi akan berkurang karena dibeli oleh para partner lainnya, dan pada akhirnya akan menjadi nol, model pembiayaan ini lebih dikenal dengan istilah deminishing musyarakah, dan ini yang banyak diaplikasikan dalam lembaga keuangan syariah.
- Musyarakah digunakan untuk pembiayaan jangka pendek. Musyarakah jenis ini bisa diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan perdagangan, seperti ekspor, impor, penyediaan bahan mentah atau keperluan-keperluan khusus nasabah lainnya.
b) Perbankan Syariah
- Pembiayaan proyek
Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
- Modal Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan investasi dalam kepemilikan perusahaan musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya. Baik secara singkat maupun bertahap.
Alur Transaksi Musyarakah
Keterangan:
- Dimulai dari pengajuan permohonan investasi musyarakah oleh nasabah dengan mengisi permohonan pembiayaan. Formulir tersebut diserahkan kepada bank syariah berserta dokumen pendukung. Selanjutnya, pihak bank melakukan evaluasi kelayakan investasi musyarakah yang diajukan nasabah. Kemudian, Bila nasabah dan usaha dianggap layak, selanjutnya diadakan perikatan dalam bentuk penandatanganan kontrak musyarakah dengan nasabah sebagai mitra.
- Bank dan nasabah mengontribusikan modalnya masing-masing dan nasabah sebagai mitra aktif mulai mengelola usaha yang disepakati berdasarkan kesepakatan dan kemampuan terbaiknya.
- Keutungan yang diperoleh akan dibagi antara bank dan nasabah sesuai dengan porsi yang telah disepakati. Seandainya terjadi kerugian yang tidak disebabkan oleh kelalaian nasabah sebagai mitra aktif, maka kerugian ditanggung proporsional terhadap modal masing-masing mitra. Adapun kerugian yang disebabkan oleh kelalaian nasabah sebagai mitra aktif sepenuhnya menjadi tanggung jawab nasabah.
- Bank dan nasabah menerima porsi bagi hasil masing-masing berdasarkan metode perhitungan yang telah disepakati.
- Bank menerima pengembalian modalnya dari nasabah. Jika nasabah telah mengembalikan semua modal milik bank, usaha selanjutnya menjadi milik nasabah sepenuhnya
DAFTAR PUSTAKA
Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. 2012. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Masadi, Ghufron A. 2002 Fiqh Muamalah Kontekstual Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Rivai, Veitzhal, dkk. Islamic Transaction Law in Business dari Teori ke Praktik. 2011. Jakarta: Bumi Aksara.
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
http://eprints.iain-surakarta.ac.id/786/ diakses pada pukul 20.16 WIB tanggal 25 November 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar