A. Pengertian
Zakat Pertanian dan Dalil Wajibnya
Zakat pertanian atau Zakat zira’ah adalah salah satu zakat mal yang dikenakan pada produk pertanian, setiap panen dan mencapai nishab. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an :
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ
مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ
وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا
أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ
الْمُسْرِفِينَ
“..... Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di
hari memetik hasilnya (dengan
disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS.
Al-An’am : 141)
Ayat ini menjelaskan bahwa zakat pertanian ditunaikan ketika panen, maka
zakat pertanian tidak dikenal
haul (hitungan satu
tahun). Allah berfirman
:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ
الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ
بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ
حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, infakkankanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-
buruk lalu kamu nafkahkan
daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketauhilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah : 267).[1]
Maksud Infak dalam ayat
ini, menurut Ali bin Abi Thalib,
Ubaidah As- Salmani dan Ibnu Sirin yaitu zakat yang
diwajibkan. Sedangkan makna “apa yang Kami keluarkan dari bumi” yakni tanaman, barang tambang dan harta temuan.
(Tafsir Al-Qurthubi 3/320)
B. Syarat Zakat Tanaman dan Buah-buahan
Syarat-syarat umum zakat
antara
lain
islam,
berakal, baligh, merdeka.
Sedangkan
terdapat
syarat-syarat
khusus dari masing-masing mazhab.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa di samping syarat-syarat umum diatas,
ada
tambahan syarat yang lain, yaitu :
1. Tanah yang ditanami merupakan tanah usyriyah.
2. Adanya tanaman yang tumbuh
dari tanah tersebut
3. Yang tumbuh dari tanah tersebut adalah tanaman yang sengaja ditanami oleh penanamnya dan
dikehendaki
pembuahannya.[2]
Mazhab Maliki mengajukan dua
syarat
tambahan, yaitu :
1. Yang tumbuh dari tanah tersebut adalah biji-bijian dan tsamarah (seperti kurma, anggur, dan zaitun). Zakat tidak diwajibkan atas fakihah (seperti
buah apel, delima)
begitu pula sayur-mayur baik tanaman di tanah
kharajiyyah maupun
bukan
tanah kharajiyyah.
2. Tanaman yang tumbuh dari tanah tersebut mencapai nishab yaitu 5 wasaq (653 kg). 1
wasaq = 60 sha’=
4 mudd.[3]
Mazhab Syafi’i menambahkan tiga syarat
tambahan, yaitu
:
1. Tanaman yang tumbuh di tanah tersebut adalah tanaman yang menjadi makanan yang mengenyangkan,
bisa
disimpan dan ditanam.
2. Tanaman
tersebut
telah mencapai nishab yaitu 5 wasaq.
3. Tanah
tersebut merupakan
tanah yang dimiliki oleh
orang tertentu.[4]
Mazhab Hambali menambahkan tiga syarat, yaitu :
Mazhab Hambali menambahkan tiga syarat, yaitu :
1. Tanaman
tersebut
bisa
disimpan, bertahan lama,
bisa
ditakar, bisa dikeringkan
dan ditanami oleh
manusia.
2. Tanaman yang tumbuh
dari
tanah
tersebut
mencapai
nishab yaitu
5 wasaq.
3. Tanaman yang telah mencapai nishab
tersebut dimiliki oleh seorang yang merdeka dan
muslim pada waktu zakat diwajibkan.[5]
Orang
yang
memiliki tanaman atau
buah-buahan yang
layak makan
yang diperoleh melalui pembelian, warisan, mahar, khulu’,
penyewaan
atau upah, tidak wajib mengeluarkan zakatnya
sebab dia
tidak memiliki
harta
tersebut ketika zakat
diwajibkan.
Buah-buahan yang
dipetik dari tanah yang mubah
tidak wajib
dikeluarkan zakatnya, baik tanaman tersebut tumbuh ditanah yang
dimiliki oleh diri
sendiri maupun benihnya diambil dari
tanah mati sebab buah-buahan tersebut
tidak bisa dimiliki kecuali
setelah diambil pada waktu zakat
diwajibkan, bauh-buahan tersebut belum dimiliki.[6]
C. Nishab Zakat Pertanian
Jika biji-bijian (Zuru’ atau
tanaman yang
dapat dibuat
roti, seperti kacang, beras, kedelai dan
lain-lain)
atau Tsimar (kurma dan anggur)
atau buah-buahan telah sampai 5 wasaq atau seberat
652,8 (dibulatkan menjadi 653 kg), maka wajib dikeluarkan zakatnya 10% bila
disiram dengan air hujan
dan 5% jika memindahkan air dari tempat lain dengan kendaraan atau yang lainnya (pompa air) atau airnya membeli. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Ibnu
![](file:///C:/Users/Acer/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif)
‘Umar, Rasulullah sha’llallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
فِيمَا
سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ ، وَمَا سُقِىَ
بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ
“ Tanaman yang diairi dengan air hujan
atau dengan mata air atau dengan air
tada
hujan, maka dikenai zakat 1/10 (10%). Sedangkan tanaman yang diairi
dengan mengeluarkan biaya, maka
dikenai zakat 1/20
(5%).”
Dari Abu
Sa’id
Al-Khudri,
“Sesungguhnya Rasulullah bersabda :
وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
“Tidak ada kewajiban
zakat
di bawah 5 wasaq kurma.” (HR. Al-Bukhari)
Berdasarkan
hadits ini nishabnya senilai lima wasaq. Satu wasaq senilai enam puluh
sha’ Nabi berdasarkan ijma’ (kesepakatan)
ulama, dan satu sha’ Nabi senilai empat mud. Maka lima wasaq senilai tiga ratus
sha’ Nabi.
- Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa zakat hasil pertanian dan perkebunan tidak wajib dikeluarkan kecuali telah mencapai nishab tertentu yaitu 5 wasaq (653 kg). Menurut Imam Syafi’i 1 wasaq = 60 sha’ = 130,5 kg. Sebagaimana Nabi menentukan kadar 1 sha’ sesuai dengan ukuran sha’ Madinah pada zamannya.
Sedangkan
menurut Imam Hanafi 1 wasaq = 195,69 kg. (1 sha’ = 4 mud = 8
rithl = 1028,57 dirham = 3,362 liter = 3261 gram). Ada juga yang menentukan 1 sha’
= 2,176 kg, berarti nishab zakat pertanian adalah 5 wasaq = 5
60 (sha’’)
2,176 kg
= 300
2,176 = 652,8
kg lalu dibulatkan menjadi 653 kg.
![](file:///C:/Users/Acer/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.gif)
![](file:///C:/Users/Acer/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image006.gif)
![](file:///C:/Users/Acer/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image006.gif)
Biji dianggap lima wasaq ketika sudah
dibersihkan dari jeraminya. Sebab, biji tidak disimpan dengan jeraminya juga
tidak dimakan dengan jeraminya. Adapun biji yang disimpan dengan kulitnya
seperti padi dan ‘alas (sejenis gandum hinthah), maka nisabnya adalah
sepuluh wasaq, dengan mempertimbangkan kulitnya yang mana menyimpannya dengan
kulitnya akan lebih baik.[7]
Sehingga dapat disimpulkan,
nishab untuk biji-bijian yang disimpan tanpa kulit adalah 5 wasaq (300
sha’) sedangkan nishab untuk untuk biji-bijian yang disimpan dengan kulit
adalah 10 wasaq (600 sha’).
D. Buah-buahan dan Biji-bijian yang Disepakati Wajib
Zakat
Abu Musa
Al-Asy’ari mengatakan
bahwa Nabi saw.
bersabda :
رمتلاو بيبزلاو ةطنحلاو ريعشلا
:
ةعبرلْا
هذه نم لَإ ةقدصلا ذخأتلَ “Janganlah kamu mengambil zakat, melainkan dari shinf (jenis) empat ini : sya’ir, hanthah,
zabib
dan tamar”
Dari penjelasan tersebut, kita mendapat pengertian bahwa buah-buahan
yang disepakati wajib zakat oleh segenap ulama ialah gandum, sya’ir, tamar
dan zabib. Dari pendapat Ibnu Hazm, kita mendapat keterangan bahwa yang disepakati benar-benar oleh segenap golongan ialah ialah gandum,
sya’ir dan
tamar.
Menurut Imam Hanafi,
tanaman wajib dizakati apabila penanamannya
bertujuan untuk mengembangkan barang
tersebut supaya mendapat keuntungan
dari hasil tanamannya,
dan beliau tidak membatasi terhadap
jenis tanaman.
Imam Maliki, Syafi’i dan Hambali sepakat bahwa
jenis tanaman yang wajib dizakati adalah
1.
Gandum
2.
Jagung (putih maupun kuning)
3.
Padi (Semua Jenis)
4. Anggur
(Semua Jenis)
5. Kurma (Semua
Jenis)
6. Kedelai
(Semua Jenis)
Tabel Nishab
sakat biji-bijian[8]
No
|
Biji-bijian
|
Nisab
|
Zakat
|
1
|
Gabah
|
1323,132 kg
|
10% atau 5%
|
2
|
Beras
|
815,758 kg
|
10% atau 5%
|
3
|
Gandum
|
558,654 kg
|
10% atau 5%
|
4
|
Jagung Putih
|
714 kg
|
10% atau 5%
|
5
|
Jagung Kuning
|
720 kg
|
10% atau 5%
|
6
|
Kedelai
|
756,697 kg
|
10% atau 5%
|
E. Zakat
Madu
Madu adalah cairan yang keluar dari perut
lebah. Tidak diragukan lagi bahwa mengandung berbagai macam kandungan gizi
maupun obat bagi manusia. Pada masa lalu lebah-lebah itu membuat sarangnya di
hutan-hutan, di pohon-pohon kayu dan sampai saat ini pun masih demikian
keadaannya. Akan tetapi, pada saat ini masyarakat tidak hanya mengandalkan madu
dari hutan-hutan tersebut, karena sudah ada yang sengaja mengadakan ternak yang
menghasilkan madu.
Mengenai hal ini telah dijelaskan dalam
Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 68-69, yang artinya:
“Dari Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah
sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang
dibikin manusia”, Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan
tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu), dari perut lebah itu ke
luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat
yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang yang memikirkannya.”
Menurut mazhab Hanafi
dan
Hanbali zakat madu adalah sepersepuluh.12 Hanya saja Abu Hanifah berpendapat bahwa
kewajiban mengeluarkan zakat madu dari tanah yang
wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak sepersepuluh
baik mengambilnya banyak atau
sedikit
dan tanah-tanah yang
selain itu tidak wajib
dikeluarkan
zakatnya. Mazhab Hanbali mengatakan bahwa nisab zakat madu adalah sepuluh afraq.[9]
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan bahwa menurut
pendapat yang
benar madu tidak wajib dizakati karena tidak adanya nash dari Rasulullah. Sedangkan menurut pendapat yang masyhur dari
madzhab Imam Ahmad bahwa
madu itu wajib dizakati, prosentasenya sepuluh persen karena madu diambil tanpa tenaga dan tanpa
biaya.
Mazhab Maliki dan
Syafi’i mengatakan bahwa madu tidak perlu dikeluarkan zakatnya
berdasarkan dua
hal berikut
ini. Pertama,
apa yang
diriwayatkan oleh Turmudzi, “Nabi
SAW tidak
pernah menganjurkan
untuk
mengeluarkan zakat sedikit pun.”
Dan
apa yang dikatakan oleh ibn
al-Mundzir,
“sesungguhnya tidak ada satu riwayat pun atau ijma’ yang mengharuskan
pengeluaran zakat didalam madu.” Kedua,
sesungguhnya madu adalah cairan yang keluar dari binatang, seperti halnya susu. Menurut ijma’, susu tidak
diharuskan untuk dikeluarkan zakatnya.
Abu ‘Ubayd menegaskan bahwa penghasilan madu hanya dianjurkan
untuk mengeluarkan sedekahnya dan tidak boleh menahan diri untuk mengeluarkan sedekah
tersebut.
Para ulama sepakat bahwa
zakat terhadap madu diqiyas-kan dengan zakat terhadap tanaman dan buah-buahan
dan juga terbentuk dari intisari tanaman dan bunga-bunga yang terus-menerus
tertimbun, sehingga wajib dikeluarkan zakatnya.[10]
Untuk Aktivitas produksi
madu wajib dizakati karena merupakan mustaghalat (barang yang dimiliki
untuk mendapatkan penghasilan atau pendapatan dari suatu benda) yang berupa
kepemilikan lebah dan atau lahannya dengan tujuan untuk mendapatkan penghasilan
dan pemasukan berupa madu.[11]
Aktivitas produksi madu meliputi:
a. Pembelian
lebah
b. Pengelolaannya
diatas lahan pertanian
c. Sarang
khusus agar lebah mudah mencari makannya
Perhitungan zakat aktivitas ini diatur
berdasarkan hal-hal berikut:[12]
a. Harga
lebah dan perangkatnya seperti sarang, fasilitas alat, dan perabotan serta mobil tidak wajib dizakati, karena ia
merupakan harta yang dimiliki yang bukan untuk diperdagangkan (kecuali emas dan
peras).
b. Harga
produksi madu selama satu haul (setiap panen
jika zakat madu termasuk ke dalam komoditas pertanian dan tiap tahun jika zakat
madu termasuk ke dalam zakat perdagangan).
c. Harga
prosuksi tersebut dikurangi pembiayaan dan pengeluaran riil, seperti biaya operasional (makanan
tambahan lebah, obat-obatan, sewa tempat, pengemasan, dan sebagainya), pajak,
retribusi, hutang, biaya hidup (jika produsen tidak memiliki sumber penghasilan
lain).
d.
Nishab madu diqiyas-kan dengan nishab harta mustaghalat
dan perdagangan yaitu senilai 85 gram emas 24 karat (jika madu termasuk ke
dalam komoditas perdagangan) dan senilai 653 kg padi/gabah atau gandum (jika
hanya beternak saja).
e.
Kadar zakat madu adalah 10% dari hasil bersih
setelah dikurangi biaya opersional dan pengeluaran dalam memproses produksi
madu. Sedangkan 2,5% tiap tahun dan penghasilan bersih jika madu termasuk ke dalam
komoditas perdagangan.
F. Buah-Buahan Yang Tidak Wajib Dizakati
1. Dalil dari
Alqur’an
ثيبخلا اومميت لَو ضرلْا نم مكل انجرخأ اممو متبسك ام تابيط نم اوقفنأ اونماء نيذلا اهيأاي
ديمح ينغ هللا نأ اوملعاو هيف اوضمغت نأ لَإ هيذخآب متسلو نوقفنت هنم
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari hasil usahamu yang baik- baik dan sebagian dari
apa
yang kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. Dan janganlah
kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu
nafkahkan
dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi
Maha
Terpuji.” (QS.
Al-Baqarah :267)
2. Dalil dari
As-sunnah. Diriwayatkan
oleh
Ibnu
Umar bahwa,
Nabi saw
bersabda,
رشعلا فصن حضنلاب يقس امو رشعلا ايرثع ناك وأ نويعلاو ءامسلا تقس اميف
“Tanaman yang
tumbuh karena curah hujan atau aliran mata
air maka miqdar
zakat yang harus
ditunaikan
adalah
sepersepuluh. Sedang jika
tanaman tumbuh dengan disirami maka miqdar yang
harus ditunaikan adalah setengahnya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari). Dan diriwayatkan
Jabir dari
Nabi saw bahwa beliau bersabda,
رشعلا فصن ةيناسلاب يقس اميفو روشعلا ميغلاو
راهنلْا تقس اميف
“Tanaman yang
tumbuh karena aliran sungai, curahan mendung
maka kewajiban zakat yang harus ditunaikan adalah sepersepuluh.
Sedang jika
disirami (oleh pemiliknya) maka
zakat setengahnya.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
3. Menurut Ijma’ kaum
muslimin
Adapun menurut ijma’
bahwa
umat islam telah sepakat secara global atas
wajibnya membayar
zakat terhadap segala
sesuatu yang tumbuh dari bumi
sepersepuluh atau setengahnya. Tapi mereka berselisih mengenai perinciaannya.
Perselisihan para
mazahib mengenai
zakat tanaman dan buah-buahan
a. Mazhab Ibnu Umar dan Thoifah dari
kalangan salaf.
Mereka berpendapat bahwa, zakat hanya diwajibkan pada
empat macam bahan pokok. Ibnu Umar
dan
sebagian dari kalangan tabi’in
dan orang-orang yang datang setelahnya berpendapat bahwa,
“Tidak ada kewajiban zakat sedikitpun dari biji-bijian yang tumbuh, selain
biji
gandum dan jewawut. dan tidak ada
kewajiban zakat sedikitpun dari
buah-buahan yang
tumbuh, selain kurma dan anggur kering.” Pendapat ini diambil dari riwayat Ahmad, Musa bin Tholhah, Ibnu Abi Laila, Ibnu
Mubarok, Abi Ubaid dan hal ini disepakati oleh Ibrahim dan beliau menambahinya
dengan jagung. Mereka berhujah
dengan perkataan Rosulullah saw, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Darut Qutni dari
Amru bin Syuaib
dari bapaknya bahwa kakek berkata,
رمتلاو ريعشلاو ةطنحلا يف ةسمخلا هذه يف ةاكزلا ملسو هيلع هللا ىلص هللا لوسر نس امنإ
ةرذلاو بيبزلاو
“Sesungguhnya Rosulullah Saw, mewajibkan zakat pada lima jenis tanaman: biji gandum, jewawut, kurma kering, anggur yang
sudah dikeringkan
dan jagung.”(Diriwatakan
Oleh Ibnu Majah)
Mereka juga
berhujah dengan hadist yang diriwayatkan At-
Thabrani dan Hakim dari Abi Burdah Dari Abi Musa dan Mu’ad bahwa Rosulullah ketika
mengutus keduanya
ke negri yaman, untuk mengajarkan
ilmu
dien kepada mereka,
maka rosulullah menyuruh keduanya supaya
tidak mengambil shodaqoh kecuali terhadap empat jenis tanaman,
biji gandum, jewawut, kurma kering
dan
anggur yang sudah dikeringkan. Mereka berpendapat bahwa selain empat macam tersebut tidak ada nash, ketetapan
ijma’ atau pun kesamaan
makna
yang mewajibkannya.
b. Mazhab Imam Malik dan Syafi’i
Zakat diwajibkan untuk setiap tanaman yang dijadikan makanan pokok dan bisa disimpan. Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa zakat
diwajibkan untuk setiap tanaman yang
dimakan,
bisa disimpam dan bisa dikeringkan dari biji-bijian ataupun
dari jenis buah-buahan, seperti gandum,
jewawut, jagung,
beras,
dan
jenis yang semisalnya.
Maksud dari (Muqtat) adalah sesuatu yang dijadikan oleh manusia
sebagai makanannya, mereka hidup dengan
mengkomsusinya baik dalam
kondisi ikhtiyar dan bukan pada kondisi dhoruroh. Maka
dari itu tidak ada zakat menurut mazhab Malik dan
Syafi’i pada kelapa, laos, bandak, dan fustaq
dan jenis yang semisalnya. Meskipun jenis-jenis diatas
bisa disimpan, akan tetapi
bukan dijadikan
makanan
pokok
bagi
manusia sekitarnya.
dengan demikian zakat tidak berlaku pada buah apel, delima dan sejenisnya yang tidak bisa dikeringkan dan tidak bisa disimpan. Mereka berhujah
dengan hadist Mu’ad
bin Jabal,
bahwa Rosulullah bersabada,
هللا لوسر
هنع افع وفعف رضحلاو بصقلاو نامرلاو خيطبلاو ءاثقلا امأق
“Adapun mentimun, batih,
delima,
bambu dan sayur-sayuran itu
merupakan jenis tanaman yang
dimaafkan (dibiarkan). (Diriwayatkan oleh Baihaqi
didalam sunan Al-kubro).
Kemudian beliau berkata, hadist-hadist dibawah ini semuanya mursal kecuali jika diriwayatkan dari berbagai jalur, sehingga satu
sama lain saling menguatkan.
c. Mazhab Imam Ahmad
Zakat diwajibkan untuk setiap
tanaman
yang
bisa
dikeringkan, mampu bertahan lama dan
bisa ditakar
Telah dinukil dari Imam Ahmad beberapa perkataan dan yang
paling jelas yaitu
sebagaimana telah disebutkan didalam kitab
Al-mugni bahwa
zakat diwajibkan ketika
terkumpulnya sifat-sifat diantaranya, bisa ditakar, bertahan lama, dan bisa dikeringkan dari biji-bijian
dan
buah-buahan yang ditanam oleh manusia dilahannya. Baik
yang berbentuk makanan pokok seperti: gandum, jewawut,
sayur-sayuran,
acar, beras, jagung, tembakau.
Atau dari biji-bijian seperti: kacang
tanah, kacang kedelai.
Atau dari rempah-rempah atau bumbu-bumbuhan
seperti: jintan
putih atau bentuk jintan yang lain. Atau dari benih seperti, benih rami, mentimun. Atau dari biji
sayur-sayuran seperti: biji lobak dan
kol.
Zakat juga diwajibkan terhadap buah-buahan seperti, kurma, kismis,
mismis yang dikeringkan dan
juga buah badam, kacang tanah
dan
kemiri.
Dalil yang dijadikan
hujah adalah keumuman perkataan Rosulullah dalam sabdanya.
رشعلا فصن حضنلاب يقس امو رشعلا ايرثع ناك
وأ نويعلاو ءامسلا تقس اميف
“Tanaman yang tumbuh karena curah
hujan
atau aliran mata air
maka miqdar zakat yang harus ditunaikan adalah sepersepuluh. Sedang jika
tanaman tumbuh dengan
disirami
maka
miqdar
yang harus ditunaikan adalah
setengahnya.” (Diriwayatkan oleh
Bukhari).
Dan perkataan
Muadz,
بحلا نم بحلا ذخ
“Ambilah (zakat) dari biji-bijian dari tumbuhan yang berbiji” (Diriwayatkan
oleh Abu Daud
dan
Ibnu Majah).
Dengan demikian zakat wajib pada semua jenis tanaman yang termasuk lafadz ini.
d.
Mazhab Abu Hanifah
Zakat berlaku pada setiap tanaman yang
dihasilkan bumi. Abu Hanifah berpendapat
bahwa diwajibkan
zakat
sepersepuluh atau setengahnya pada setiap tanaman yang dihasilkan oleh bumi. Maksudnya petani
tersebut
memang
menanam tanaman
tersebut
dan
mengembangkannya dilahannya sebagaimana kebiasaan yang
telah berlaku ditengah-tengah
masyarakat.
Pengecualian dari macam diatas terletak pada
kayu, rumput, dan bambu karena
jenis tersebut manusia tidak menanamnya dilahannya. Maka
dari itu Daud Adzohiri dan sahabat-sahabatnya selain Ibnu
Hazm berkata
bahwa setiap yang tumbuh harus dizakati dan tidak ada pegecualian. Ini adalah pendapat An-Nakho’i dalam salah satu riwayatnya
dan Umar
bin Abdul Aziz, Mujahid, dan Hamad
bin Sulaiman. Dengan demikian
mazhab
Abu hanifah dan
para
sahabatnya mewajibkan zakat
pada
tebu, kunyit, kapas, katun, dan yang
semisal dari
keduanya, meskipun tidak termasuk sesuatu yang bisa
dijadikan makanan
pokok.
Wal hasil menurut pendapat Abu Hanifah bahwa
diwajibkan mengeluarkan sepersepuluh dari buah semuanya. seperti, Apel, peer,
buah plum, mismis, tiin, dan diwajibkan juga
mengeluarkan sepersepuluh dari sayur-sayuran, seperti
mentimun, semangka, melon, terong, lobak dan
lobak. Mereka berhujah dengan
keumuman firman
Allah yang berbunyi,
هنم ثيبخلا اومميت لَو ضرلْا نم مكل انجرخأ اممو متبسك ام تابيط نم اوقفنأ اونماء نيذلا اهيأاي
ديمح ينغ هللا نأ اوملعاو هيف اوضمغت نأ لَإ هيذخآب متسلو نوقفنت
“Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari hasil usahamu yang baik- baik dan sebagian dari apa yang
kami keluarkan dari
bumi untuk kamu.
Dan
janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari
padanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya
melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya
lagi Maha Terpuji.” (QS.
Al-Baqarah :267)
dan firman Allah Ta’ala,
نامرلاو نوتيزلاو
هلكأ افلتخم عرزلاو لخنلاو تاشورعم ريغو تاشورعم تانج أشنأ يذلا وهوَ
نيفرسملا بحي لَ هنإ اوفرست لَو هداصح موي هقح اوتاءو رمثأ اذإ هرمث نم اولك هباشتم ريغو اهباشتم
“Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung
dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang
bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama
(rasanya).
Makanlah
dari
buahnya (yang bermaca-macam itu)
bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya dihari
memetik
hasilnya
(dengan dikeluarkan
zakatnya);
dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan.”
(QS.
6:141)
Disini nash-nash diatas tidak
ada
perincian antara disimpan
atau tidak bisa disimpan, yang bisa dimakan dan tidak bisa dimakan dan yang bisa dijadikan
makanan pokok atau tidak
bisa dijadikan makanan pokok
melainkan lafadz yang digunakan
umum.
G. Mencampurkan Buah-Buahan Yang
Diperoleh
Dalam Setahun
Ar-rafi’i mengatakan “tidak ada perselisihan mengenai tidak digabungkan buah- buahan yang
dihasilkan dalam tahun kedua , kepada yang dihasilkan dalam tahun pertama untuk mnyempurnakan nishab,
baik keluar buah pada tahun
kedua, sebelum memetik buah tahun pertama maupun
sesudahnya. Kalau seseorang memiliki pohon kurma yang mengeluarkan buah dua kali setahun, maka buah panen kedua tidak digabungkan pada hasil panen
pertama.
Apabila berlainan waktu masaknya saja, lantaran berlainan
macamnya, atau berlainan udara, maka jika keluar buah yang kedua sesudah nyata buah
yang pertama lebih baik maka menurut zhahir nash Asy-Syafi’i digunakan yang kedua kepada yang pertama; karena
dipandang buah itu diperoleh dalam satu
tahun.
Inilah pendapat yang dishahihkan oleh Ar-Rafi’i
dalam
Al-
Muharrar dan oleh An-Nawawi.
Gandum tidak boleh dicampurkan kepada sya’ir dan tamar
juga
tidak
dapat dicampurkan pada keduanya. Demikian pendapat Sufyan, Muhammad
ibn Hasan dan Syafi’i. Laits ibn Sa’ad
dan
abu Yusuf mengatakan,
“digabungkan semua yang
dikeluarkan bumi, setengahnya kepada setengah.
Maka apabila dari
semuanya terkumpul 5 wasaq, dikeluarkanlah zakatnya.
“Barangsiapa mempunyai beberapa sawah di
beberapa tempat,
maka hendaklah
penghasilannya dikumpulkan
dan dizakati jika sudah sampai
nishab.”
H. Menjual
Buah-Buahan
Sebelum Dipetik Dan Zakat Harta
Tumbuh-Tumbuhan
Malik mengatakan, “barangsiapa menjual tumbuh-tumbuhan
ketika
buah-buahan tersebut telah baik (hampir masak) dan kering
dalam kelopaknya,
maka zakat tumbuh-tumbuhan tersebut wajib bagi pemiliknya dan bukan bagi pembelinya. Tidak boleh menjual buah-buahan sebelum kering dalam kelopaknya.
Asy-Syafi’i
mengatakan “
tidak boleh
menjual digirik
dan dibersihkan.” Malik mengatakan, “barang siapa menjual kebunnya sedang dalamnya ada tanaman yang
belum nyata baiknya, maka zakatnya diwajibkan
untuk pembelinya. Akan tetapi, jika telah nyata baik dan telah boleh
menjualnya, maka
zakatnya
bagi penjual,
kecuali jika disyaratkan terhadap si
pembeli.
Apabila seorang
mati meniggalkan tanaman yang
dipusakakan oleh
warisnya, maka jika masa itu
tanaman telah kering, wajib diambil
zakatnya jika sampai nishab. Tapi jika waktu ia
mati, tanaman tersebut masih hijau, maka
zakatnya terhadap si waris. Jika sampai bagian masing-masing yang
menerima pusaka satu
nishab.
Jika tidak, maka tidak
wajib
zakat.
Apabila seorang
menjual padinya, maka tidak dikenakan zakat terhadap
harga padi sebelum sampai setahun dimiliki.
Tapi jika padi itu disimpan untuk diperniagakan, maka
wajib atasnya
mengeluarkan zakat dari harganya
apabila telah sampai setahun ia menyimpan, jika
ia saudagar
mutakhir dan jika
ia saudagar mudir, hendaklah ia hargakan padinya
sesudah satu tahun dari hari ia keluarkan
zakatnya.
I. Zakat Penghasilan di Tanah Wakaf
Menurut mazhab Hanafi, kepemilikan
merupakan syarat
diwajibkannya zakat tersebut. Oleh
karena itu, tanah yang tidak ada pemiliknya, yakni
tanah wakaf, zakatnya adalah
sepersepuluh.
... هداصح موي هقح اوتاو...
“ ... dan tunaikanlah
haknya di hari memetik
hasilnya ... “ (QS. Al-An’am:141)
Karena sepersepuluh dikenakan atas sesuatu yang
menghasilkan, dan bukan atas tanah itu sendiri, kepemilikan tanah atau tidaknya berada pada satu kondisi, dan tidak menjadi syarat
atas kewajiban mengeluarkan
zakat.
Menurut mazhab Maliki, pemberi wakaf atau
pengelolanya menanggung kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas harta wakaf. Jika pemiliknya
telah mengalihkan tanggungjawabnya kepada penerima
wakaf sehingga penerima wakaf itu yang menanami tanahnya, maka penerima wakaflah
yang berkewajiban mengeluarkan zakat jika
masing-masing
jenis harta wakaf itu
telah mencapai nishab. Jika
tidak mencapai nishabnya,
dia tidak wajib mengeluarkan zakatnya, selama
dia tidak memiliki harta
lain yang sama
jenisnya yang dapat digabungkan dengannya sehingga dapat mencapai nishabnya.
Menurut mazhab Syafi’i, tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat utuk
buah-buahan dan padi-padian yang
berasal dari tanah wakaf untuk masjid, jembatan, atau panti-panti (al-ribathat), orang fakir dan miskin karena tanah-
tanah itu tidakadapemiliknya yang pasti.
Menurut mazhab Hanbali, wajib zakat atas padi-padian dan tanaman yang
diwakafkan untuk orang yang telah ditentukan, jika masing-masing jenis
itu mencapai nishabnya. Tidak
diwajibkan zakat
atas tanah wakaf yang
penerimanya tidak
ditentukan.
J. Zakat Penghasilan Di
Tanah Sewa
Menurut Abu Hanifah,
zakat tanah sewaan dibebankan kepada
orang
yang menyewa karena dialah yang
menanggung biaya atas tanah itu, misalnya biaya untuk buruh dan pajak. Karena dia memperoleh uang sewanya, dia
dianggap menanami sendiri tanahnya.
Mazhab Maliki dan
Syafi’i tidak sependapat dengan
Abu Hanifah,
mereka mengatakan kewajiban zakat atas
tanah sewaan dibebankan kepada
penyewa karena tanah yang
menghasilkan diwajibkan zakatnya sebesar sepersepuluh, dan yang
menikmati hasil tanah itu
adalah
pihak penyewa. Oleh
karena itu, pihak
penyewa dibebani
untuk
membayar zakat sebesar
sepersepuluh , dan dia dianggap sebagai
peminjam (al-mustair).
Jumhur ulama mengatakan jika ada orang yang menyewa sebidang
tanah, lalu menanaminya, atau dia
meminjam tanah kemudian menanaminya,
dengan tanaman
yang berbuah, maka hasil atas tanah itu dikenakan zakat.
Kewajiban mengeluarkan zakat sepersepuluh dibebankan kepada penyewa atau
orang yang meminjam tanah itu, bukan kepada pemiliknya karena
sesungguhnya zakat sepersepuluh itu
diwajibkan atas tanaman, yang sebelumnya digarap oleh
pemiliknya, yang
kini meminjamkan atau
menyewakannya.
Tidak adil
bila kewajiban zakat dibebankan
kepada
pemilik tanah,
sebab
zakat dikenakan atas
tanamannya. Dengan
demikian
dia tidak berkewajiban mengeluarkan zakat
karena dia tidak menanami tanahnya.
K. Zakat Atas
Tanah Berpajak (Al-Kharajiyyah)
Ada dua macam tanah menurut Abu Hanifah;
Tanah
Al –‘Usyriyyah adalah tanah yang wajib dikeluarkan zakatnya
sebesar sepersepuluh, yang didalamnya terkandung muatan makna ibadah.
a. Tanah Arab yang membentang di kawasan al-Udzayb
(sebuah dusun di Kufah)
sampai ke perbatasan Yaman dan Aden. Karena
Rasulullah saw. dan
para khulafa Rasyidin
setelahnya tidak pernah
mengambil
pajak (al-kharaj)
atas tanah-tanah tersebut. Ini menunjukkan bahwa tanah-tanah itu adalah tanah
‘usyriyyah (wajib dizakati sepersepuluh).
b. Tanah yang penduduknya masuk
islam dengan penuh kesadaran. Oleh karena itu, tanah tersebut dianggap tanah
islam.
c. Tanah yang
dibuka secara paksa dengan menundukkan penduduknya dan
dibagi-bagi sebagia tanah rampasan perang bagi kaum
muslimin.
d. Tanah yang berada dikawasan negeri kaum muslimin yang dipakai untuk
kebun dan disirami dengan air yang
mengharuskan zakat sepersepuluh. Jika tanah itu disiram dengan air yang
mengharuskan membayar pajak, tanah itu termasuk
tanah
pajak.
Tanah Al-Kharajiyyah adalah tanah yang diwajibkan pembayaran pajaknya karena pada mulanya tanah-tanah itu milik orang
kafir yang
dibuka secara paksa oleh pasukan kaum muslim, kemudian Imam memberikan tanah
itu
kepada pemiliknya
kembali untuk dimanfaatkan setelah pemilik tanah itu dikenal kewajiban membayar upeti karena mereka tidak mau masuk islam.
Tanah tersebut
dikenai pajak, baik
pemiliknya masul islam maupun
tidak setelah itu,
misalnya tanah di pinggiran
wilayah Irak, Mesir,
dan Syiria.
Adapun menurut jumhur ulama,
tanah berpajak itu
ada tida macam;
1. Tanah yang dibuka oleh pasukan kaum muslim dan tidak dibagikan kepada mereka.
2. Tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya karena takut kepada pasukan muslim.
3. Tanah yang diberikan oleh
pemiliknya kepada kaum muslim
Menurut jumhur ulama tanah yang diharuskan membayar zakat
sepersepuluh,
tidak harus membayar
pajak karena ia merupakan hak milik pemiliknya. Tanah seperti ini yang berada di wilayah yang ditundukkan, ada
lima macam, yaitu;
1. Tanah yang penduduknya masuk islam, seperti kota Madinah al-
Munawwarah, Juwatsi yang termasuk
wilayah Bahrain.
2. Tanah mati yang dibuka
oleh kaum Muslim dan dipelihara oleh mereka,
seperti Bashrah yang dibangun pada zaman kekhalifahan Umar r.a., pada
tahun delapan belas, setelah
diwakafkannya tanah pinggiran
di Irak.
3. Tanah yang telah dibuatkan kesepakatan oleh pemiliknya bahwa tanah itu
milik mereka
dan mereka
menyanggupi untuk membayar pajaknya, seperti
tanah di Yaman.
4. Tanah yang dibagikan oleh para Khulafa Rasyidin di pinggiran wilayah Irak untuk dimiliki orang-orang tertentu.
5. Tanah yang dibuka secara paksa
oleh
pasukan muslim
dan dijadikan rampasan perang
(ghanimah),
seperti separuh wilayah Khayar (empat blok dari
Madinah yang memanjang sampai ke
arah Syam).
Ada dua macam pajak
yaitu pajak wajib (kharaj al-wazhifah) dan
pajak dari bagi hasil (kharaj
muqasamah). Pajak wajib (kharaj al-wazhifah) adalah pajak yang wajib dikeluarkan atas tanah, baik tanah itu dimanfaatkan maupun tidak dimanfaatkan
pemiliknya.
Adapun pajak bagi hasil (kharaj al- muqasamah)
adalah pajak
yang
dipotong (diambilkan) dari
hasil panen, misalnya dengan mengambil separuh, sepertiga, atau seperempat bagian dari
seluruh hasil panen.
Para
ulama sepakat bahwa tanah
berpajak yang dimiliki oleh orang bukan muslim harus dibayar
pajaknya dan tidak
usah diambil zakat sepersepuluhnya karena sepersepuluh adalah kewajiban yang dibebankan atas tanah yang dimiliki orang muslim.
Menurut mazhab Hanafi, tanah berpajak hanya diwajibkan membayar
pajaknya dan tidak diwajibkan membayar zakat penghasilan sebesar sepersepuluh.
Pajak
dan zakat
sepersepuluh tidak dapat terjadi
dalam
satu tanah.
Menurut tiga Imam
fikih yang lain, tanah berpajak harus membayar zakat
sepersepuluh disamping keharusan membayar pajaknya.
L. Zakat Tumbuh-tumbuhan Yang
Perkongsikan
Menurut Asy-Syafi’i, Apabila terkumpul dari beberapa dari beberapa orang kongsi
lima wasaq, maka mereka wajib
mengeluarkan
zakat.
As-Zarqani mengatakan, menurut Asy-Syafi’i, orang yang
berkongsi
terhadap tanaman, emas, dan perak dan binatang mengeluarkan zakat sebagai
zakat orang-perorangan. Sedangkan Malik, Ahmad dan Abu
Tsaur
mengatakan,
bahwa wajib
zakat mereka jika masing-masingnya mempunyai nishab.[13]
M. Contoh Penghitungan Zakat Tanaman dan Tumbuhan
1. Zakat Perorangan
Bapak Alan adalah seorang petani, ia memiliki sawah yang luasnya
2 Ha dan ia tanami padi. Selama pemeliharaan ia mengeluarkan biaya
sebanyak Rp 5.000.000,-. Ketika
panen hasilnya
sebanyak 10 ton beras.
Berapakah zakat
hasil tani yang harus dikeluarkannya?[14]
Jawab:
Ketentuan zakat hasil tani: Nishab 653 kg beras Tarifnya 5%
Waktunya: Ketika menghasilkan
(Panen)
Jadi zakatnya:
Hasil panen 10 ton = 10.000 kg (melebihi
nisab) 10.000 x
5% = 500 kg
Jika dirupiahkan:
Jika harga jual
beras adalah
Rp10.000,- maka ,
10.000 kg x Rp10.000 =
Rp100.000.000
100.000.000 x 5% = Rp5.000.000,-
Maka zakatnya adalah 500
kg beras atau
Rp5.000.000
2. Zakat Milik Bersama
Pak Ahmad adalah seorang pemilik tanah. Sedangkan Pak Hamid penyewa tanah untuk ditanami dengan
akad bagi hasil pertanian
dan
benih berasal dari Pak Hamid. Ketika panen, tanah pak Ahmad menghasilkan 3
ton beras. Sedangkan system pengairannya berasal dari pembelian air disel. Sedangkan bagi hasilnya adalah: 40: 60. 40% untuk Pak Ahmad dan 60% untuk Pak Hamid. Jadi berapakah zakat yang
dikeluarkan oleh Pak Ahmad
dan Ham id?[15]
Jawab:
Ketentuan zakat hasil tani: Nishab 653 kg beras
Tarifnya 5%
Waktunya: Ketika menghasilkan
(Panen) Jadi zakatnya:
Hasil panen 3 ton = 3.000 kg
Bagi hasilnya 40%
untuk Pak Ahmad dan
60% untuk Pak Hamid.
Pak Ahmad 3.000kg x 40% = 1.200kg
(melebihi nisab) 1200kg
x 5%
= 60 kg Jika dirupiahkan:
Jika harga jual
beras adalah
Rp10.000,- maka,
1.200 kg x Rp10.000 =
Rp12.000.000
12.000.000 x 5% = Rp600.000,-
Maka zakat
Pak
Ahmad adalah 60 kg beras atau Rp600.000
Pak Hamid 3.000kg x 60% = 1.800kg
(melebihi nisab) 1800kg
x 5%
= 90 kg Jika dirupiahkan:
Jika harga jual
beras adalah
Rp10.000,- maka
1.800 kg x Rp10.000 =
Rp18.000.000
18.000.000 x 5% = Rp900.000,-
Maka zakat Pak Hamid adalah 90 kg beras
atau Rp900.000.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin. 2011. Dalil-Dalil Keutamaan Zakat, Infak dan Sedekah Dilengkapi Dengan
Tinjauan Dalam Fiqh 4
Madzab.Tangerang Selatan: Elex
Media Komputindo.
Al-Zuhayly,
Wahbah.
2008. Zakat:
Kajian Berbagai
Mazhab.
Bandung: Remaja
Rosdaka.
Ash-Shiddieqy,
Hasby. 2010. Pedoman Zakat. Semarang: PT.
Pusaka Rizky Putra.
Mannan,
Abdul. 2007.
Fiqih Lintas Madzhab. Kediri: PP.
Al
Falah.
http://repository.uin-suska.ac.id/2754/2/BAB%20III.pdf, diakses
tanggal 10 Desember 2018.
http://etheses.uin-malang.ac.id/1475/7/08210025_Bab_2.pdf diakses pada 7 Desember 2018 pukul 19:46 WIB.
http://www.iswahyudi-wahyu.top/2016/09/bagaimana-cara-mengeluarkan-zakat-madu.html diakses pada 10
Desember 2018, pukul 13:26 WIB.
[1] Arifin, Dalil-Dalil dan Keutamaan Zakat, Infak dan Sedekah Dilengkapi Dengan Tinjauan Dalam Fiqh 4 Madzab, (Tangerang Selatan : Elex Media Komputindo, 2011), hlm. 113.
[2] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat :
Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2008), hlm. 183.
[7] http://repository.uin-suska.ac.id/2754/2/BAB%20III.pdf, diakses tanggal 10 Desember 2018 pukul 07.59 wib
[8] Abdul Manna, Fiqih Lintas Madzhab, (Kediri: PP. Al Falah , 2007), hlm. 34
[9] Wahbah al-Zuhayly, Zakat
Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 190.
[10] http://etheses.uin-malang.ac.id/1475/7/08210025_Bab_2.pdf
diakses pada 7 desember 2018 pukul 19:46